Perang Padri di Minangkabau, Kisah Perlawanan terhadap Belanda
Perang Padri adalah sebuah peristiwa sjarah yang melibatkan kelompok ulama yang disebut Kaum Padri dengan Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyunh dan sekitarnya.
Perang Padri di Minangkabau pada dasarnya adalah perang saudara. Peristiwa ini terjadi di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang sekarang merupakan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Latar belakang meletusnya peperangan ini adalah masalah agama Islam dan adat, sebelum Belanda ikut campur. Seperti apa kronologi, tokoh dan hal-hal penting yang terjadi selama peperangan, berikut sejarahnya.
Latar Belakang Perang Padri di Minangkabau
Sejarah mencatat bahwa pertempuran berlatar belakang masalah agama ini dimulai pada 1803. Ketika tiga tokoh Minang pulang dari ibadah haji di tanah suci. Yaitu ada Haji Miskin, H. Sumanik, dan Hj Piobang. Ketiganya berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau. Maksud baik ini didukung ulama bernama Tuanku Nan Renceh yang kemudian bergabung dan mengajak orang lain turut serta. Ketiga tokoh haji dan ulama ini tergabung dalam kelompok Harimau nan Salapan.
Kelompok ini meminta Sultan Arifin Muningsyah selaku pemimpin Kesultanan Pagaruyung (Pagaruyung) serta kerabat kerajaan untuk menjalankan syariat Islam. Hal ini dikarenakan kerabat kerajaan masih menjalankan tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun di keluarga kesultanan dinilai berat untuk ditinggalkan. Kebiasaan ini antara lain seperti sabung ayam, bertaruh, serta minum minuman keras.
Meskipun masyarakat sekitar dan keluarga kesultanan pemeluk agama Islam namun kebiasaan tersebut tetap dilakukan. Sultan Arifin Muningsyah sendiri kurang sepakat dengan ajakan untuk mengikuti syariat Islam dan meninggalkan kebiasaan adat. Mengetahui respon pihak kesultanan terhadap ajakan yang kurang positif tersebut kaum Padri mengambil langkah tegas.
Kelompok agamis ini menggunakan cara paksa untuk mengubah kebiasaan adat masyarakat sekaligus dengan maksud untuk amar ma’ruf nahi munkar.Tindakan paksa inilah yang kemudian memunculkan peristiwa perang Padri di Minangkabau. Dipimpin oleh tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman pada tahun 1803. Perang ini memaksa Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri.
Kronologi Perang Padri di Minangkabau
Perang yang semula merupakan saudara ini terjadi secara berangsur dan terbagi dalam beberapa peristiwa penting. Kronologi terjadinya peperangan terbagi dalam beberapa peristiwa penting berikut ini.
- Tahun 1815
Pada tahun ini golongan Padri dari kelompok Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Karena desakan terus didapatkan, akhirnya golongan Adat meminta bantuan kolonial Belanda. - Tahun 1822
Tepatnya pada bulan Maret pasukan Hindia Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raff berhasil membuat kaum Padri terusir dari Kerajaan Pagaruyung. Raff kemudian membangun benteng pertahanan di Batu Sangkar yang diberi nama Fort Van der Capellen. - Juni 1822
Pada Juni tahun 1822 terjadi penghadangan pasukan kolonial Belanda oleh pasukan kaum Padri. Namun pada penghadangan ini pasukan Belanda menang dan berhasil melanjutkan perjalanan sampai ke Luhak Agam. - Pertempuran 14 Agustus 1822
Terjadi pertempuran di Baso pada 14 Agustus 1822 yang menyebabkan Kapten Goffinet dari pasukan Belanda mengalami luka berat kemudian wafat 5 September 1822. Perang Padri di Minangkabau ini mendesak Belanda kembali ke Batu Sangkar. - April 1823
Bulan April tahun 1823, Raff kembali menyerang markas pertahanan wilayah Lintau. Pertempuran dimenangkan oleh kaum Padri dan menyebabkan Belanda mundur. Raff kemudian meminta bantuan Sultan Arifin Muningsyah namun pada tahun 1825 sultan Arifin wafat. - November 1825
Belanda mengajukan gencatan senjata karena kehilangan banyak sumber daya untuk biaya perang. Selama gencatan senjata ini tokoh penting dari kaum Paderi yaitu Tuanku Imam Bonjol mengajak kaum adat untuk bersatu.Ajakan untuk bersatu ini dilakukan melalui kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam. Dari kesepakatan dihasilkan sebuah konsensus yaitu Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Adat berlandaskan agama, agama berlandaskan Al-qur’an.
Akhir Perang Padri di Minangkabau
Pasukan kolonial Belanda membangun benteng Fort de Kock di Bukit Tinggi sebagai upaya pertahanan. Pembangunan ini sekaligus antisipasi serangan dari kaum Padri dan kaum Adat yang benar terjadi pada 11 Januari 1833. Selain membangun benteng sebagai pertahanan pihak Belanda juga mengatur siasat. Membuat dalih bahwa pada dasarnya kedatangan mereka murni untuk berdagang tanpa ingin mengganggu ketenangan masyarakat Minangkabau.
Siasat ini berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke daerah Cianjur, Ambon lalu dipindahkan lagi ke Minahasa sampai akhir hayat beliau. Sepeninggal Tuanku Imam Bonjol, perang Padri di Minangkabau masih berlanjut. Pertempuran tahun 1838 menghasilkan kemenangan untuk pihak kolonial karena kemampuannya menembus benteng pertahanan terakhir masyarakat Minangkabau.
Pertahanan tersebut berada di Dalu-dalu di bawah pimpinan Tuanku Tambusai. Beliau beserta beberapa pengikutnya berhasil selamat kemudian lari ke negeri Sembilan yaitu daerah Semenanjung Malaya. Setelah kehilangan banyak tokoh pimpinan yang mumpuni, kekuatan masyarakat Minangkabau semakin menipis. Pelan dan pasti pihak kolonial pada akhirnya memenangkan perang Padri di Minangkabau yang juga melibatkan kaum Adat ini.